Coretax Telan Biaya Fantastis, Negara Lain Lebih Efisien?

Coretax Telan Biaya Fantastis, Negara Lain Lebih Efisien?
Coretax Telan Biaya Fantastis, Negara Lain Lebih Efisien, Foto: Pajak.com

WARTASULUH.COM- Sebuah video unggahan dari akun Instagram @fuaditrockzramai diperbincangkan publik setelah menyoroti besarnya biaya proyek core tax administration system atau Coretax yang dikembangkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan.

Dalam video tersebut, pemilik akun, Fuadit Muhammad, mengungkapkan keheranannya terhadap nilai proyek yang mencapai Rp 110 miliar hanya untuk tahap quality assurance (QA) atau pengujian sistem.

Fuadit menilai biaya tersebut terlalu tinggi jika dibandingkan dengan hasil dan performa aplikasi Coretax saat ini yang dinilainya belum optimal. Ia menyebut meski proyek ini melibatkan perusahaan besar, hasil akhirnya masih menunjukkan banyak bug dan eror.

“Nilai Rp 110 miliar itu cuma untuk QA-nya doang , buat testing aplikasinya, tetapi hasilnya eror dan bug-nya masih banyak banget,” ujar Fuadit, dikutip Beritasatu, Kamis (30/10/2025).

Lebih lanjut, ia menegaskan persoalannya bukan terletak pada kemampuan sumber daya manusia (SDM) Indonesia, melainkan pada sistem kerja dan mekanisme proyek yang melibatkan konsultan besar.

“Bahkan orang awam pun tahu, tampilannya masih banyak eror, responsnya lambat, dan sistemnya belum optimal,” tambahnya.

Siapa Perusahaan di Balik Coretax?

Berdasarkan informasi dari situs resmi DJP, konsorsium LG CNS-Qualysoft terpilih sebagai pemenang tender pengadaan Coretax dengan nilai kontrak mencapai Rp 1,228 triliun, termasuk pajak.

Pengumuman ini dilakukan oleh PT PricewaterhouseCoopers Consulting Indonesia (PwC) sebagai agen pengadaan dan ditetapkan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 549/KMK.03/2020 tertanggal 1 Desember 2020 tentang Penetapan Pemenang Tender Dua Tahap dengan Prakualifikasi Pengadaan Sistem Integrator Sistem Inti Administrasi Perpajakan.

Proyek ini merupakan bagian dari langkah strategis reformasi sistem administrasi perpajakan nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan.

Konsorsium LG CNS-Qualysoft bertugas menyediakan solusi commercial off the shelf (COTS) dan mengimplementasikan teknologi tersebut untuk menggantikan sistem lama DJP yang sudah digunakan sejak 2002.

Selain itu, PT Deloitte Consulting, bagian dari jaringan Deloitte global yang berbasis di Inggris, juga ditunjuk sebagai pemenang tender layanan konsultasi owner’s agent-project management and quality assurance (QA). Nilai kontraknya mencapai Rp 110,3 miliar termasuk pajak. Tugasnya memastikan keberhasilan proyek melalui pengelolaan manajemen proyek, vendor, kontrak, serta penjaminan kualitas.

Banyak negara di dunia telah lebih dahulu mengimplementasikan sistem administrasi pajak digital seperti Coretax atau dikenal sebagai core tax administration system (CTAS).

Sistem ini dirancang untuk memodernisasi layanan pajak, meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan wajib pajak. Berikut perbandingan beberapa negara yang telah menerapkannya.

Sistem Pajak Digital di Berbagai Negara

1. Singapura (IRAS)

Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS) telah lama menerapkan sistem pajak digital terintegrasi yang bertujuan meningkatkan efisiensi serta transparansi layanan publik.

Meski demikian, biaya spesifik pembangunan sistem IRAS tidak pernah dipublikasikan secara terbuka. Alasannya, sistem tersebut sudah beroperasi sejak 1992 dan terus diperbarui secara bertahap, sehingga menjadi proyek jangka panjang dan bukan proyek tunggal dengan biaya tertentu.

Sama seperti Coretax di Indonesia, sistem IRAS berfungsi mengurangi beban administratif dan meminimalkan kesalahan manusia. Kesuksesan digitalisasi pajak Singapura ini juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap otoritas pajak negaranya.

2. Malaysia (MyTax)

Malaysia mengembangkan platform pajak digital bernama MyTax, yang fokus pada peningkatan kepatuhan, transparansi, serta kemudahan administrasi perpajakan. Namun, tidak ada data publik mengenai biaya pengembangannya.

MyTax memudahkan wajib pajak dalam melaporkan serta membayar pajak secara daring, sekaligus mempercepat proses administrasi yang sebelumnya dilakukan secara manual.

Walau perincian biaya spesifik tidak tersedia, kemungkinan besar proyek ini didanai melalui anggaran transformasi digital nasional yang lebih luas milik Lembaga Hasil Dalam Negeri (LHDN), sejalan dengan fokus Pemerintah Malaysia terhadap agenda digitalisasi sektor publik.

3. Finlandia (Valmis)

Valmis (dalam bahasa Finlandia berarti siap atau ready) menjadi proyek modernisasi pajak terbesar dalam sejarah Finlandia. Negara ini mengganti lebih dari 70 sistem lama dengan sistem baru berbasis commercial-off-the-shelf (COTS).

Reformasi ini juga disertai pembaruan undang-undang perpajakan serta penyederhanaan proses internal.

Proyek yang dimulai pada 2012 ini memakan waktu 8 tahun dan melibatkan sekitar 5.000 orang, termasuk 960 pegawai otoritas pajak dan 400 konsultan.

Implementasi Valmis dibagi menjadi lima tahap, dari pengelolaan data pelanggan hingga sistem pajak properti, dengan peluncuran terakhir pada 2019.

Total anggaran program Valmis diperkirakan mencapai 170 juta euro atau sekitar Rp 3,29 triliun. Proyek ini berhasil dijalankan tanpa mengganggu proses pemungutan pajak nasional selama masa transisi.

4. Selandia Baru (Start)

Pada 2015, Selandia Baru memulai reformasi besar pada sistem perpajakannya yang telah digunakan sejak 1980-an. Pemerintah meluncurkan sistem baru bernama Simplified Tax and Revenue Technology (Start) yang bertujuan menciptakan administrasi pajak digital dan memungkinkan wajib pajak mengelola kewajibannya secara mandiri.

Berdasarkan laporan audit, estimasi biaya proyek Start berkisar antara NZ$ 1,3 miliar (sekitar Rp 12,56 triliun) hingga NZ$ 1,9 miliar (Rp 18,35 triliun) dalam periode sekitar 10 tahun.

Transformasi dilakukan secara bertahap dalam empat fase (2016-2022). Setiap fase memigrasikan layanan pajak secara sistematis, mulai dari GST, withholding tax, hingga pajak penghasilan dan bea masuk.

Pada 30 Juni 2022, sistem Start telah diimplementasikan sepenuhnya dan menjadi tulang punggung digitalisasi perpajakan di negara tersebut.

5. Arab Saudi (FATOORA)

The Saudi Zakat, Tax, and Customs Authority (ZATCA) di Arab Saudi meluncurkan program nasional fully automated tax operations and online reporting application (FATOORA) yang menggantikan sistem faktur manual menjadi faktur digital.

Kata fatoora (فَاتُورَة) berasal dari bahasa Arab yang berarti invoice atau faktur. Nama program ini digunakan oleh ZATCA untuk menamai program nasional e-invoicing (faktur elektronik) yang resmi diluncurkan pada 4 Desember 2021.

Program FATOORA dilaksanakan dalam dua tahap utama. Tidak ada angka resmi yang diumumkan sebagai biaya tunggal proyek FATOORA, meskipun diakui bahwa biaya kepatuhan dan integrasi sistem dapat bervariasi tergantung pada skala bisnis.

Tahap pertama, yang dimulai pada 2021, mewajibkan seluruh wajib pajak untuk berhenti menggunakan faktur manual dan beralih ke perangkat lunak faktur yang memenuhi standar ZATCA.

Selanjutnya, pada tahap kedua tahun 2023, sistem faktur digital diintegrasikan langsung dengan portal ZATCA, sehingga memungkinkan pertukaran data elektronik secara aman dan efisien antara penjual dan pembeli.

Transformasi ini menunjukkan komitmen kuat Arab Saudi dalam membangun ekonomi digital yang transparan, modern, dan sesuai standar internasional.

Mengapa Tidak Ada Angka Proyek Tunggal?

Banyak negara tidak memublikasikan angka biaya proyek digitalisasi pajak secara spesifik karena sifatnya merupakan program jangka panjang dan bertahap. Anggaran untuk modernisasi sistem biasanya berasal dari alokasi tahunan organisasi atau kementerian, mencakup belanja modal (capex), biaya operasional (opex), kontrak vendor, konsultan, serta lisensi perangkat lunak.

Hanya beberapa negara, seperti Selandia Baru, yang membuat business case publik berisi angka proyek secara terperinci, sementara negara lainnya memandangnya sebagai inisiatif berkelanjutan dalam reformasi pajak nasional.

Kontroversi biaya proyek Coretax sebesar Rp 110 miliar untuk tahap QA membuka diskusi penting tentang efektivitas dan akuntabilitas proyek digital pemerintah. Meskipun bertujuan memodernisasi sistem perpajakan, transparansi dan hasil implementasi tetap menjadi indikator utama keberhasilan.