Enam Refleksi Penanganan Bencana di Era Viral: Dari Pengerahan 50 Ribu Personel hingga Melawan Serakahnomics

Dari pedagang kaki lima hingga pemilik kos-kosan, dari saudara-saudara kita di Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat semua bergerak memberikan bantuan untuk saudara kita di Aceh, Sumut, Sumbar dan daerah lainnya. Ini bukti nyata bahwa gotong royong adalah sistem pertahanan semesta terbaik yang kita miliki.

Enam Refleksi Penanganan Bencana di Era Viral: Dari Pengerahan 50 Ribu Personel hingga Melawan Serakahnomics
Hariqo Wibawa Satria, Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah RI; Penulis Artikel “Empati Digital, Warisan untuk para Humas dari Pak Sutopo” tahun 2019. FOTO: Dok/Hariqo Wibawa Satria

Oleh: Hariqo Wibawa Satria,

Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Pemerintah RI; Penulis Artikel “Empati Digital, Warisan untuk para Humas dari Pak Sutopo” tahun 2019.

Pertama, Rakyat Berhak Mengkritik.

Saudara-saudara kita, para netizen yang mengkritik pemerintah, menggunakan gawai dan kuota mereka sendiri, serta meluangkan waktu di sela-sela kesibukan untuk menyuarakan kegelisahan.

Sedangkan bagi kami di pemerintahan, menjawab kritik adalah bagian dari pekerjaan dan digaji oleh uang rakyat.

Karena itu, kami tidak boleh marah dikritik, karena itu sumber perbaikan.

Kedua, Rakyat Berhak Memviralkan.

Saat ribuan ton bantuan tersalurkan, namun di tengah medan yang sulit ada satu-dua momen pelayanan yang dianggap kurang pantas, maka itulah yang akan viral.

Apakah netizen salah memviralkannya? Tidak.

Netizen ingin memastikan setiap gram bantuan sampai dengan penuh martabat.

Kami menyadari bahwa dalam duka, kesalahan sekecil apa pun bisa melukai perasaan.

Ini adalah pengingat bahwa manajemen bencana bukan sekadar soal banyaknya bantuan dan niat baik, tapi soal rasa dan cara.

Di sini kita melihat dua bentuk kepedulian masyarakat:

ada yang memilih membantu dalam diam melalui donasi, dan ada yang memilih bersuara lantang untuk memastikan tidak ada kesalahan sekecil apa pun di lapangan.

Keduanya kami hormati, karena bagi kami, suara saudara-saudara kita itu adalah panduan agar kehadiran pemerintah benar-benar dirasakan hingga ke pelosok.

Presiden RI Prabowo telah menurunkan lebih dari 50.000 personel TNI dan Polri, setara 50 batalion ke titik-titik bencana di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat.

Tingkatan kekuatan dan bantuan yang dikerahkan pemerintah pusat sudah berskala nasional.

Jumlah ini belum termasuk personel dari kementerian, badan, dan lembaga lainnya.

Ketiga, Kehadiran vs Bentang Alam.

Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah hadir sebelum bencana lewat peringatan dini dan berbagai pelatihan, serta hadir sejak hari pertama bencana terjadi.

Namun, kami mengakui kehadiran itu belum bisa serentak menjangkau setiap lokasi karena bentang alam yang menantang dan cuaca ekstrem di lapangan.

Di saat itulah, titik-titik yang sulit dijangkau tersebut diviralkan oleh masyarakat.

Apakah netizen yang memviralkannya itu salah? Tidak.

Pilihan kami jelas: tidak menghabiskan energi untuk berbantah di media sosial.

Aparatur pemerintah bersama relawan dari masyarakat memilih untuk terus berjalan kaki, melawan arus sungai, hingga mengerahkan armada udara dan laut untuk mencapai titik-titik yang belum tersentuh bantuan.

Kami tidak keberatan jika fokus kami di lapangan dinilai belum sempurna oleh opini publik, karena prioritas utama kami bersama relawan dari masyarakat adalah memastikan keselamatan warga.

Keempat, Bersama Melawan "Serakahnomics" di Balik Bencana.

Banjir di Sumatera tahun 2025 ini adalah salah satu yang terparah dalam sejarah.

Kita harus jujur, selain cuaca ekstrem, ada dampak dari kerusakan lingkungan masa lalu yang harus kita tebus.

Kita semua sudah mengetahui data kehilangan hutan dari tahun 1990 hingga 2024.

Sejak lama, Presiden Prabowo sering menekankan bahaya "Serakahnomics", yaitu praktik ekonomi yang menguntungkan kelompok serta personal, namun mengabaikan kepentingan nasional.

*Di tahun pertama Pemerintahan Presiden Prabowo ini*, pembenahan hutan di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukan lagi sekadar wacana.

Ini adalah komitmen penegakan hukum yang nyata demi melindungi rakyat dari bencana di masa depan, dan saat ini sudah masuk ranah penyidikan oleh aparat penegak hukum.

Kelima, DNA Gotong Royong.

Di tengah kepungan bencana, kita melihat sisi terbaik bangsa ini. DNA kedermawanan Indonesia semakin menyala.

Ini bukan sekadar reaksi spontan, sebab selama tujuh tahun berturut-turut, dunia telah menobatkan Indonesia sebagai negara paling dermawan di bumi (World Giving Index).

Dari pedagang kaki lima hingga pemilik kos-kosan, dari saudara-saudara kita di Indonesia Timur, Indonesia Tengah dan Indonesia Barat semua bergerak memberikan bantuan untuk saudara kita di Aceh, Sumut, Sumbar dan daerah lainnya.

Ini bukti nyata bahwa gotong royong adalah sistem pertahanan semesta terbaik yang kita miliki.

Keenam, Satu Tim Indonesia.

Sebelum ada internet dan media sosial, berita negatif sudah lebih cepat menyebar dari yang positif.

Sekarang di era semua orang punya akun, ada pengingat:

“disinformasi, fitnah dan kebencian sudah keliling dunia, sementara pelurusannya baru pakai sepatu.” (Adaptasi dari Jonathan Swift).

Menurut Global Risks Report 2025, cuaca ekstrem serta disinformasi termasuk dalam empat ancaman global teratas.

Kita harus melawan keduanya dengan kerja nyata dan kejujuran informasi. Salah satu langkah nyata adalah dengan selalu merujuk pada data resmi.

Dengan hormat, kami mengajak seluruh masyarakat untuk mengikuti akun @InfoBMKG guna mendapatkan peringatan dini bencana untuk pencegahan.

Presiden Prabowo menegaskan:

“Kita semua satu tim, bekerja keras, bahu-membahu mengatasi masalah di lapangan, kita adalah keluargamu, kalian adalah keluarga kami, semua warga adalah bagian dari kami."

Segala kemampuan terbaik dan dukungan maksimal telah dikerahkan, sinergi adalah kunci yang mempercepat pemulihan.

Sejak awal Pemerintah tidak bekerja sendirian, sebab itu..

Terima kasih yang sebesar-besarnya kami haturkan kepada seluruh relawan, tenaga medis, para guru, wartawan, netizen, tokoh masyarakat, tokoh agama, aparat desa, pelaku usaha, dan setiap tangan yang telah membantu.

Kritik dan saran dari Ibu serta Bapak adalah energi bagi kami.

Kolaborasi kita semua adalah nyawa bagi saudara-saudara kita yang sedang tertimpa musibah. Hormat kami. (Jakarta, 18 Desember 2025)