Royalti Musik di Restoran, Mungkinkah Jadi Tanggungan Konsumen?

Royalti Musik di Restoran, Mungkinkah Jadi Tanggungan Konsumen?
Royalti Musik di Restoran, Mungkinkah Jadi Tanggungan Konsumen, Foto: Media Massa

WARTASULUH.COM- Di tengah kegaduhan perkara royalti, berlalu-lalang foto struk makan di restoran yang mencantumkan biaya royalti musik. Biaya itu seakan-akan dibebankan kepada konsumen, selayaknya kita membayar biaya pajak atau servis dari sebuah tempat makan.

Meski gambar itu terbukti tidak benar, muncul kekhawatiran masyarakat jika skema tersebut betul terjadi. Maklum, belum lama PT Mitra Bali Sukses (MBS/Mie Gacoan) terlibat polemik hukum dengan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) Sentra Lisensi Musik Indonesia (Selmi).

Mie Gacoan Bali diduga tak membayar royalti sejak 2022. Sengketa itu lalu berujung pada perjanjian damai, di mana isi perjanjian menyatakan bahwa PT MBS telah memenuhi kewajibannya untuk membayar lisensi menyeluruh (blanket license) sebesar Rp2,2 miliar, untuk pemutaran musik di 65 gerai, yang ada di bawah naungan PT Mitra Bali Sukses, selama periode 2022–2025.

Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum memang menegaskan pemutaran musik di ruang publik komersial wajib dibarengi pembayaran royalti kepada pencipta lagu atau pemilik hak ciptanya lewat Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, menyatakan tempat yang termasuk ruang publik untuk tujuan komersial yaitu restoran, pusat perbelanjaan, hotel, kafe, pusat kebugaran, dan sebagainya.

Menurut dia, pemutaran musik di restoran atau ruang publik komersial lainnya, merupakan bentuk komunikasi pertunjukan kepada publik. Begitu pula pemutaran musik dari layanan streaming pribadi, seperti Spotify atau YouTube, untuk diperdengarkan di tempat-tempat publik komersial, pun tetap terkena kewajiban membayar royalti.

"[Pemutaran musik] itu bukan konsumsi pribadi, dan karenanya wajib membayar royalti sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur," kata Agung dalam keterangan pers di Kantor DJKI, Jakarta Selatan.

Apabila tidak disertai izin dan pembayaran royalti, pemutaran musik tersebut bisa termasuk dalam pelanggaran hak cipta. Aturan ini termaktub dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.

Hak cipta menurut UU itu termasuk judul lagu, nama pencipta notasi dan/atau melodi, nama pencipta lirik, nama penerima manfaat, judul lagu alternatif, klaim kepemilikan notasi dan atau melodi, klaim kepemilikan lirik, tahun fiksasi, dan penerbit musik.

Adapun ketentuan tarif royalti sendiri disesuaikan dengan jenis usaha dan skema penggunaan musik. Misalnya, restoran non-waralaba dengan 50 kursi dikenai tarif royalti Rp120 ribu per kursi per tahun. Dengan demikian, totalnya sebanyak Rp6 juta per tahun.

Tidak Boleh Dibebankan ke Konsumen

Mendengarkan musik memang bukan hanya perihal selera. Di ruang publik komersial, kita harus sadar bahwa pengakuan atas kerja-kerja kreatif harus dinormalisasi. Tapi, pertanyaannya, apakah konsumen, yang notabene tak memilih diperdengarkan lagu di tempat makan, harus urun daya membayar royalti?

Pengamat musik sekaligus Founder Wara Musika, Dzulfikri Putra Malawi, menjelaskan pembayaran royalti tidak boleh dan tidak seharusnya dibebankan kepada konsumen. Royalti juga bukan penerimaan pajak yang mana uangnya mengalir ke negara.

“Secara undang-undang kita kan menggunakan peraturan itu dari UU Hak Cipta ya. nah di UU itu gak diatur, nggak diatur tata cara dibebankan kepada konsumen. Yang tertulis adalah kepada pemilik usaha kan, yang bayar. Jadi menurutku, hematku adalah ya nggak boleh pemilik usaha itu membebankan ke konsumen,” kata Dzulfikri.

Apalagi, secara fungsi, musik dipakai pemilik usaha untuk meningkatkan nilai dari tempat yang ditawarkan, bukan murni keinginan konsumen. Jadi, Dzul bilang, mengenakan tarif royalti ke konsumen tak ada dasar hukumnya.

“Jadi kita ga bisa tuh secara serampangan narikin uang orang, kira-kira gitu sih ilustrasinya. Harusnya kalau pemilik usahanya benar, dia nggak akan asal masukin itu ke tagihan konsumen, karena nggak ada dasar regulasinya kan. Jadi memang logikanya ya itu adalah ibaratnya dia bayar pegawai, dia bayar bahan baku. Nah dia kan punya daftar cost regulernya untuk menjalankan usahanya, itu harusnya masuk dalam cost,” sambung Dzulfikri.

Lagipula, pembayaran royalti di lingkungan cafe atau restoran didasarkan pada rerata okupansi kursi, seperti sudah disebutkan di atas. Penetapan tarif itu mengikuti Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor:

Hki.2.Ot.03.01-02 ??hun 2016 tentang Pengesahan Tarif Royalti Untuk Pengguna Yang Melakukan Pemanfaatan Komersial Ciptaan Dan/Atau Produk Hak Terkait Musik Dan Lagu.

Setali tiga uang, konsultan sekaligus pengacara bidang kekayaan intelektual, Donny A Sheyoputra, juga mengatakan kewajiban membayar royalti atas pengumuman suatu karya cipta di bidang musik atau lagu memang merupakan kewajiban pengusaha siapapun yang menggunakan karya tersebut untuk kepentingan komersial.

“Bukan hanya pengusaha di bidang kuliner seperti pemilik cafe, restoran, atau mall, tetapi semua pengusaha yang menggunakan musik untuk kepentingan komersial. Meskipun bukan merupakan kewajiban konsumen, tetapi beban operasional pengusaha tentunya akan bertambah dengan adanya kewajiban untuk membayar royalti ini,” kata Donny.

Bagi pengusaha yang bermaksud membebankannya kepada konsumen, dalam hal ini pengunjung restoran, maka dapat dipastikan bahwa biaya atau harga makanan dan minuman yang akan dibeli konsumen tersebut menjadi lebih mahal. Hal ini juga pasti memicu protes di kalangan pelanggan, apalagi tak semua konsumen menikmati musik.

Meski pemerintah tak bisa mengawasi soal pembebanan biaya royalti kepada konsumen, menurut Donny, pemerintah bisa mengawasi transparansi penagihan dan penyaluran royalti yang telah diperoleh LMKN dan LMK kepada para pencipta lagu.


Mengutip laman resmi LMKN, pada 2024, total royalti yang dikumpulkan oleh pihaknya mencapai Rp77 miliar. Angka itu merangkak naik ketimbang tahun sebelumya sebanyak Rp55 miliar.

Butuh Skema yang Adil

Pasca Kemenkum mengingatkan setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait, sejumlah pemilik kafe diketahui enggan memutar musik karena takut terkena polemik royalti.


Akan tetapi, lagi-lagi membebani biaya itu ke konsumen jelas tak berdasar. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga menilai pengenaan royalti ke konsumen merupakan tindakan salah kaprah lantaran konsumen tidak tahu apa-apa tapi malah dikenakan royalti.

“Pengenaan royalti ke konsumen tidak nyambung karena harusnya itu menjadi beban pihak resto yang harusnya tidak dibebankan ke konsumen,” tutur Rio

Lebih jauh, Rio juga mempertanyakan dasar hukum pengenaan tarif royalti ke konsumen. Sebab, konsumen mestinya membayar apa yang mereka pesan yaitu makanan atau minuman. Sementara pemutaran musik merupakan layanan tambahan dari pelaku usaha dan tidak boleh memungut tarif dari konsumen.

Itu mengapa harus dibentuk skema agar persoalan royalti bisa fair, dan yang tak kalah penting, bagaimana itu semua sepenuhnya sampai ke musisi. Menteri Ekonomi Kreatif (Ekraf), Teuku Riefky Harsya, mengatakan kebijakan terkait royalti harus ditata dengan lebih adil lagi.


"Kan tentu pencipta lagu dan pengarang lagu harus menerima royaltinya. Tapi di sisi lain, yang menggunakan [lagu] juga harus ada kebijakan yang fair untuk mereka," ucapnya.

Politikus Demokrat itu menyebut, untuk penataan kembali, pihak legislatif berencana merivisi produk hukum yang mengatur royalti, yakni UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.