Dari Sawit ke Cabai, Warga Langgam Menggantang Asa dalam Menjaga Hutan Ulayat

Oleh karena tingginya peminat cabai, Kholis berencana mengkonversi lahan sawit miliknya yang sudah berumur 30 tahun, dengan tanaman cabai. Lahan sawit itu berada di belakang rumah mertuanya. Apalagi biaya operasional sawit juga besar. Harga pupuknya juga mahal. Begitu juga untuk panen diupahkan ke orang.

Dari Sawit ke Cabai, Warga Langgam Menggantang Asa dalam Menjaga Hutan Ulayat
Kelompok Tani Barokah, Muhammad Noor Kholis (33) sedang memetik cabai Nano, Kamis (29/10/2025). Oleh karena tingginya peminat cabai Setan ini, Kholis berencana mengkonversi lahan sawit miliknya yang sudah berumur 30 tahun, dengan tanaman cabai. FOTO: Wartasuluh.com/Harismanto

WARTASULUH.COM, PELALAWAN - Matahari baru meninggalkan peraduannya, saat Muhammad Noor Kholis bergerak menuju kantor Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan. Tak lama berkendara dengan sepeda motor, ia pun tiba di lokasi. Tepat di belakang kantor itu, terdapat lahan cabai siap panen seluas 20x30 m2.

Lahan cabai itu milik BPP Langgam yang dipinjamkan kepada Kelompok Tani Barokah. Pengolahannya masih secara tradisional. Tak heran, banyak gulma yang tumbuh di tanah bedengan tanaman Holtikultura itu.

Padahal, tanaman cabai yang banyak gulma rentan terhadap penyakit seperti jamur Phytophthora capsici atau bakteri penyebab layu. Gulma juga dapat menyebabkan daun cabai lembab dan sulit terkena sinar matahari, sehingga memudahkan penyebaran penyakit seperti antraknosa, busuk batang, dan bercak daun.

Di sela-sela tanaman cabai, terdapat Jangkos (janjang kosong kelapa sawit) yang berfungsi sebagai pupuk organik untuk tanaman cabai. Kandungan nutrisi jangkos cukup tinggi, terutama kalium yang penting untuk pembungaan dan kualitas buah. Sedangkan penyiramannya, kata warga Kelurahan Langgam itu, masih dilakukan secara manual.

"Ini namanya (cabai, red) Nano, kami bilang. Ini jenis cabai setan juga. Kalau rasanya, jangan tanya lagi. Pengen nangis makannya. Pedas!" kata suami dari Amelia itu, Kamis (29/10/2025).

Ada sekitar 500 batang tanaman cabai di lahan itu. Tangan Ketua Kelompok Tani Barokah itu terlihat sangat cekatan memetik cabai yang siap panen. Seminggu, katanya, bisa dua kali panen dengan hasil sekitar 20 kg.

Terkadang, saat hasil panen meningkat, Kholis dibantu Amelia. Termasuk untuk pemasarannya. "Jangan sampai patah pucuknya tuh. Kalau istri dia pakai gunting. Yang dipanen cabai yang udah tua kayak ginilah Ini udah bisa, nih. Kalau yang masih muda, beda lagi harganya, tuh. Kalau saya, panen yang udah tua," ungkap Kholis yang mengaku kayak ada adrenalin tersendiri menjadi petani cabai.

Sekarang harga cabai Nano Rp40 ribu per kg. Biasanya, saat permintaan tinggi, harga cabai Nano bisa tembus hingga Rp80 ribu per kg. "Habis panen langsung dipromosikan istri di grup WhatsApp. Kita antar langsung ke rumah orang itu. Jadi enggak ada jual banyak," ucap Kholis.

Beruntung, Kelompok Tani Barokah yang beranggotakan 40 orang petani itu mendapat bantuan pendampingan dari Earthworm Foundation (EF)-Yayasan Hutan Tropis (YHT) melalui Program Petani Tangguh, yang mengadopsi Praktik Pertanian Baik (GAP) dan Praktik Manajemen Terbaik (BMP). Setidaknya 3 unit bisnis petani diberdayakan untuk memproduksi, mengelola, dan memasarkan produk berkelanjutan.

"Dulu sebelum ada EF-YHT, kami menanam cabai nggak pake mulsa (plastik untuk menutup tanah bedengan atau lahan tanaman cabai). Sejak ada EF-YHT, kami langsung beli mulsa," ungkap ayah dua anak itu.

Muhammad Noor Kholis (33) sedang memastikan pipa-pipa air di tanaman cabai Nano yang memakai mulsa itu berfungsi dengan baik, Kamis (29/10/2025). FOTO: Wartasuluh.com/Harismanto

Mulsa sangat berguna untuk menghambat tumbuhnya gulma, melindungi tanah dari erosi, menjaga struktur tanah agar tetap baik, mencegah serangan hama penyakit, serta menjaga kelembaban tanah. Untuk pemasangan mulsa, plastik yang berwarna hitam menghadap ke bawah dan yang berwarna perak menghadap ke atas. Tak hanya cabai, mulsa juga digunakan untuk budidaya tanaman hortikultura seperti tomat, terong, seledri, kubis, sawi, okra, paprika dan lainnya.  

Pihak EF-YHT, juga mengajarkan para petani cabai melakukan penyiraman tanaman secara otomatis. Penyiraman tanaman ini perlu diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman cabai, karena tanaman cabai memerlukan asupan air yang cukup untuk fotosintesis dalam kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang. 

"Sekarang penyiraman kan tinggal colok listrik karena sudah ada pipa-pipa yang mengelilingi lahan cabai. Kalau dulu ini manual. Jadi tinggal cok, buka keran air. Kita bisa kerja lain. Berarti lebih efektif," ucap pria berusia 33 tahun ini.

Saat ini, sudah ada dua petak lahan tanaman cabai yang sudah memakai mulsa dan menggunakan pola penyiraman tanaman otomatis.

"Ini sudah kita tanami bibit cabai Nano. Semoga hasil panennya nanti, naik beberapa kali lipat. Jadi lumayan terbantulah untuk jajan anak," harap Kholis, seraya menyebut peminat cabai setan itu banyak sekali di daerahnya, baik untuk konsumsi keluarga maupun untuk usaha ayam geprek.

Oleh karena tingginya peminat cabai, Kholis berencana akan mengkonversi lahan sawit miliknya yang sudah berumur 30 tahun, dengan tanaman cabai. Lahan sawit itu berada di belakang rumah mertuanya. Apalagi biaya operasional sawit juga besar. Harga pupuknya juga mahal. Begitu juga untuk panen diupahkan ke orang.

"Kalau cabai ini enak, per minggu kita dapat duit. Kalau sawit itu dua minggu sekali," kata Kholis.

Apa yang dikerjakan Kholis, mendapat dukungan penuh sang istri, Amelia. Selain mendengarkan keluh kesah sang suami sebagai petani cabai, sesekali Amelia juga ikut membantu suaminya panen cabai Nano. Terlebih jika panennya banyak, sehingga dia pun mengajak tetangga dengan upah Rp3-5 ribu per kg.

"Kadang dengerin ceritanya kalau ada masalah, karena saya memang tidak bisa membantu secara langsung. Tapi kalau panen banyak, saya juga ikut bantu. Cuma menjaga cabai ini yang belum pernah ikut lagi," ungkap ibu dua anak ini.

Terlebih, hasil panen cabai Nano cukup membantu perekonomian keluarganya. "Ada tambahan tabungan jadinya. Semenjak ada cabai ini ada tambahan uang tabungan gitu. Kalau untuk sehari-hari, saya belum menggunakan uang yang ini," kata Amelia yang sehari-hari juga berjualan dan membantu usaha keluarganya.

Tentang keinginan suaminya untuk mengkonversi lahan kebun sawit mereka menjadi tanaman cabai, Amelia pun tak menyatakan keberatan. "Antara sawit dengan cabai, lebih cepat hasil cabai. Kalau sawit khan harus nunggu beberapa tahun gitu. Kalau cabai langsung terasa, khan hasilnya ada tiap minggu. Jadi kalau disuruh milih, saya pilih keduanya," ungkap Amelia, seraya tertawa kecil.

Meskipun demikian, tetap ada tantangan tersendiri bagi Kholis dalam melakoni profesi sebagai petani cabai. Di antaranya, lalat buah (Bactrocera spp.) yang dapat menurunkan kualitas dan hasil panen. Lalat buah itu menyuntik buah cabai yang masih kecil, sehingga saat sudah besar buah itu jadi busuk.

"EF-YHT ngajarin juga cara bikin perangkapnya. Lalat buah itu datang kayak nyengat gitu. Tapi dia nyengat waktu umur cabai masih bayi-bayilah. Tapi dengan ada perangkap, terbantu untuk mengatasinya," jelas Kholis.

Perangkap lalat buah digantung Muhammad Noor Kholis (33) di pohon-pohon sekitar lahan cabai Nano. Lalat buah itu menyuntik buah cabai yang masih kecil, sehingga saat sudah besar buah itu jadi busuk. . FOTO: Wartasuluh.com/Harismanto

Perangkap lalat buah atau feromon atau atraktan (metil eugenol) dicampur insektisida untuk menarik dan membunuh lalat buah jantan. Perangkap itu digantung di pohon-pohon sekitar, setiap 10-20 meter, tergantung tingkat serangan.

"Iya, cabai. Lanjut nih. Yang pasti cabai itu lebih menjanjikan. Hanya saja kalau bisa harganya minimal Rp30 ribu per kg untuk petani. Kalau penyakit cabai ini, bisalah kita carikan solusinya bersama-sama," tukas Kholis.

Tak hanya Kholis, Eko Semono (53) selaku anggota Kelompok Tani Barokah juga mempunyai harapan yang sama. Meskipun berprofesi sebagai petani cabai, namun perekonomian keluarganya cukup terbantu. Bahkan, bisa juga membiayai pendidikan anak-anaknya.

"Ya terbantu. Nyatanya anak saya makan semua. Dari yang sedikit itu aja cukup. Bahkan anak saya ada yang udah udah tamat kuliah. Yang udah kerja di penerbangan, ada juga. Yang lain ada juga, udah pada kerja sih sebagian. Namun yang kecil-kecil masih ada empat orang lagi," beber Eko.

Eko mengaku bersyukur bisa bergabung dengan Kelompok Tani Barokah yang kini mendapat pendampingan dari Earthworm Foundation (EF)-Yayasan Hutan Tropis (YHT) melalui Program Petani Tangguh. "Gabung di kelompok tani berkah ini, semenjak didirikan kelompok tani inilah. Antara petani kita saling ngapal. Tukar pengalaman masalah-masalah bertani," kata Eko.

Di Kelompok Tani Barokah, mereka saling bertukar pengalaman dalam pertanian hortikultura, khususnya cabai. "Kalau ada yang punya keluhan gini-gini, nanti kawan-kawan yang berpengalaman itu ya ngasih tahu. Oh kalau ada penyakit ini, obatnya ini. Kalau dulu sendiri, susah cari akal sendiri," jelas Eko yang memiliki 2.000-3.000 batang tanaman cabai.

"Enggak luas sih, ya. Ini baru mulai penyemaian," tambahnya.

Selama bertani cabai, ada juga sejumlah masalah yang dihadapinya. Apalagi, ia belum memakai mulsa. "Ya, sukanya kalau waktu panen. Dukanya nanti kalau panen gagal kena serangan hama yang signifikan. Atau kena anjloknya harga. Ini sih dukanya itu kalau petani. Tapi kalau sukanya ya, proses itu banyak hiburannya," ungkap Eko yang tak punya lahan sawit.

"Kalau nengok orang yang punya sawit lebar-lebar, kayaknya enak gitu, senang gitu kan. Tapi kita lahan enggak ada. Sudah itu, kita pikir-pikir kalau semua nanam sawit, nanti makannya pakai apa? Ya enggak mungkin kita makan minyak goreng aja. Orang yang punya petani sawit itu ya nanti butuh sayur sama kita, butuh cabai sama kita," ucap Eko yang berharap pendampingan dari EF-YHT dilakukan sampai tuntas.

EF-YHT memang akan melatih para petani itu sampai tuntas. Manajer EF Riau Muhammad Akhyar Riski, mengatakan, Program Petani Tangguh yang merupakan bagian dari program Lanskap Riau EF-YHT, untuk melatih petani tentang praktik pertanian yang baik (GAP), memperkuat produksi, manajemen, dan pemasaran hasil tani.

Saat ini, sudah ada 3.769 petani yang dilatih soal praktik pertanian yang baik (GAP). Selain itu, sejak 2021, EF-YHT mendukung 1.509 rumah tangga petani rentan untuk diversifikasi pendapatan dan memperkuat ketahanan pangan.

"Di Kelurahan Langgam, masyarakat yang mayoritas petani sawit, mulai mengembangkan alternatif ekonomi melalui test farm hortikultura (cabai) yang difasilitasi EF-YHT bersama Kelompok Tani Barokah. Ini tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada sawit, memenuhi kebutuhan desa, dan mendorong diversifikasi tanaman," jelas Riski.

Di Kelurahan Langgam, Kabupaten Pelalawan yang mayoritas petani sawit, Earthworm Foundation (EF)-Yayasan Hutan Tropis (YHT) melalui Program Petani Tangguh mengembangkan alternatif ekonomi melalui test farm hortikultura (cabai) bersama Kelompok Tani Barokah. FOTO: Wartasuluh.com/Harismanto

Sosial Specialist EF Ozi Sukma, menambahkan, EF-YHT melakukan pendekatan dengan kegiatan livelihood untuk ekonomi masyarakat. "Kita ada inisiatif untuk memperkenalkan tanaman hortikultura berupa tanaman cabai spesifik. Karena ini juga bagian dari kebutuhan masyarakat Riau dan juga dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya di kelurahan ini. Sehingga kita menggunakan pendekatan tanaman hortikultura untuk peningkatan ekonomi masyarakat, selain pendapatan utama mereka," kata Ozi.

Sementara itu, Nasrullah Datuk Penghulu Besar Kepenghuluan Langgam, mengatakan, tak semua warganya memiliki sawit karena profesi warga sudah beragam. Ada yang petani sawit dan holtikultura, ada yang pegawai negeri maupun swasta dan ada juga yang berwiraswasta.  

"Kita juga berterima kasih sama EF-YHT karena ada terobosan. Karena ada orang punya tanah sedikit, mungkin dia tak punya sawit. Ada yang punya hortikultura, misalnya di sawit-sawit serta ada juga yang beralih dari sawit ke hortikultural. Soalnya sawitnya mungkin udah waktunya peremajaan, karena gak cukup biaya, diganti dengan hortikultura," ungkapnya. (harismanto - Bersambung)