DPRD Riau Minta Pembagian 10 Persen PI Utuh Tanpa Pajak dan Biaya Operasional
KLIKCERDAS.COM, PEKANBARU – Ketua Komisi III DPRD Riau, Edi Basri, mendesak agar pembagian 10 persen Participating Interest (PI) Blok Rokan bersih tanpa potongan pajak dan biaya operasional. Pasalnya sebagai daerah penghasil migas, Riau seharusnya mendapat manfaat yang lebih adil dari pengelolaan minyak dan gas bumi.
Hal tersebut diungkapkan usai rapat dengar pendapat (RDP) antara Komisi III DPRD Riau dan PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di ruang komisi, Senin (10/11/2025). Rapat tersebut membahas kondisi keuangan perusahaan sekaligus potensi pendapatan daerah yang akan dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau 2026.
Salah satu komponen penting APBD Riau berasal dari dana Participating Interest yang kini menjadi sorotan banyak kalangan. Namun, dari hasil pembahasan bersama, kondisi keuangan PHR disebut tengah mengalami tekanan serius.
"Dari hasil pembahasan tadi, PHR itu kondisinya minus. Tapi tentu dalam pelaporan resmi tidak boleh dicatat minus. Maka dalam pembukuan, pendapatan mereka hanya ditulis 1 dolar AS," kata Edi Basri.
Dikatakan Edi, terdapat perubahan skema pembagian hasil antara pemerintah pusat dan daerah. Jika sebelumnya pembagiannya 65 persen untuk daerah dan 35 persen untuk pemerintah pusat, kini berubah menjadi 80 persen untuk daerah dan 16 persen untuk pusat.
"Dengan skema baru ini, ada keterlambatan pembayaran dari PHR kepada pemerintah pusat sebesar 550 juta dolar AS atau sekitar Rp8 triliun lebih. Dana ini merupakan piutang negara kepada PHR, dan kita berharap pembayarannya bisa menambah pemasukan bagi APBD Riau," ujarnya.
Namun demikian, Edi menegaskan jumlah tersebut tidak serta-merta menjadi 10 persen bersih untuk daerah. Sebab, masih ada kewajiban pajak dan kekurangan pendanaan dari PHR yang harus ditutupi terlebih dahulu.
Dari total 10 persen PI untuk daerah, 50 persen diperuntukkan bagi Pemerintah Provinsi Riau, dan 50 persen lainnya untuk kabupaten/kota penghasil. Hingga kini, pihak PHR belum dapat memberikan rincian estimasi PI tahun 2025 yang akan dialokasikan untuk APBD 2026.
"Tadi kita minta kejelasan rinciannya, tapi mereka belum bisa menyampaikan. PHR minta waktu satu sampai dua hari untuk memberikan estimasinya," jelasnya.
Pada kesempatan itu Komisi III juga menyoroti tingginya beban operasional yang menyebabkan kecilnya porsi penerimaan daerah dari PI. Edi menyebut, beban tersebut mencakup pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pajak dari pembagian PI, serta biaya operasional lain yang dibebankan kepada perusahaan.
"Selama ini, bagian 35 persen untuk pemerintah pusat tidak dikenakan pajak, sementara 10 persen untuk daerah justru dipotong pajak dan biaya operasional. Ini yang membuat penerimaan daerah jadi sangat kecil," tegasnya.
Karena itu, Komisi III DPRD Riau berencana menggelar audiensi dengan Komisi XII DPR RI untuk menyampaikan keprihatinan daerah penghasil migas terhadap skema bagi hasil yang berlaku saat ini.
"Kita ingin pembagian 10 persen PI itu bersih dari pajak dan beban operasional. Kalau masih dipotong, penerimaan kita sangat kecil. Sebagai daerah penghasil migas, Dana Bagi Hasil (DBH) yang kita terima hanya sekitar Rp350 miliar, dan setelah dikurangi pajak dan biaya lainnya, kita cuma dapat sekitar Rp150 sampai Rp200 miliar," ujarnya.
Kondisi tersebut tidak sebanding dengan kontribusi besar Riau terhadap produksi migas nasional. Ia berharap pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan fiskal agar pembagian hasil lebih berpihak pada daerah penghasil.
"Kita tidak minta lebih, hanya ingin keadilan fiskal bagi daerah penghasil. Kalau pembagiannya lebih proporsional dan transparan, tentu akan memperkuat kemandirian fiskal Riau dan mendorong pembangunan di sektor lain," tutur Edi. (Rik)


Lestari 



