Pilu Balita di Sukabumi Meninggal, Ini Bahaya Cacingan yang Kerap Dianggap Sepele

WARTASULUH.COM- Raya, balita di Sukabumi, Jawa Barat meninggal dunia pasca dokter menemukan lebih dari 1 kilogram cacing di tubuhnya. Dilaporkan keluar dari hidung hingga anus.
Meski pemicu kematiannya diyakini tidak hanya disebabkan infeksi cacing, kasus semacam ini bila tidak ditangani akan memicu gejala berat. Dokter spesialis penyakit dalam yang juga Dekan Fakultas Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam menjelaskan bagaimana cacing terus berkembang biak dan hidup di tubuh.
"Pada kasus ini cacing gelang, ascaris, kalau tidak diobati memang itu akan bertelur dan memperbanyak diri di dalam tubuh, dalam usus seseorang," sorotnya.
"Makanya sering kan ditemukan BAB-nya ada cacing, ini sebenarnya harus dilihat history-nya, sudah pernah demikian atau pernah muntah cacing. Itu harus segera diberikan obat," kata dia.
Sebagai catatan, penyebaran cacing saat berkembang biak memang bisa 'bermigrasi' ke organ lain, alias tidak hanya di usus.
Larva cacing disebutnya memungkinkan mengalir ke paru-paru yang menyebabkan masalah di bagian tersebut. Dalam beberapa kasus, cacing juga ditemukan mampu naik ke saluran empedu.
Bila hanya di usus halus, pasien umumnya kerap merasakan tidak nyaman di bagian perut, disertai kembung dan begah. Ciri-ciri yang bisa dikenali pada anak sebenarnya cukup mudah, yakni tidak mendadak rewel.
"Kalau anaknya rewel kita harus periksa jangan-jangan cacingan," katanya.
Pemberian obat cacing bisa menekan kemungkinan berkembang biar bahkan mati di dalam tubuh. Komplikasi akibat kecacingan relatif beragam.
"Dia bisa menyumbat atau makin banyak, bisa saja penyumbatan di usus saluran empedu atau larva-nya bisa masuk ke paru-paru, apalagi ada TBC paru kondisinya agak lebih berat, kalau tidak ditangani dengan baik, tentu bisa memicu kematian," sambung dia.
Hal senada diutarakan Prof Tjandra Yoga Aditama. Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia itu menyebut dampak kecacingan bahkan bisa terasa hingga ke paru.
Dalam kondisi tersebut, pasien mengeluhkan gejala batuk, sesak napas, hingga suara mengi. Bahkan, pada kasus lebih berat, kemungkinan besar mereka mengalami nyeri dada, batuk darah, hingga risiko lebih serius yakni batuk keluar cacing.
"Walaupun jarang, maka memang dapat timbul penyakit yang lebih berat, antara lain dalam bentuk pneumonia, cairan di paru (efusi pleura), paru yang kolaps (pneumotoraks). Lebih jarang lagi dapat terjadi keadaan yang disebut sindrom "Leoffler", hipertensi paru dan bahkan gagal napas dalam bentuk ARDS dan lain-lain," tambahnya.
Pemeriksaan untuk mengidentifikasi kondisi tersebut biasanya melalui tes dahak, bronkoskopi dengan tehnik bronchoalveolar Lavage (BAL) dan pemeriksaan radiologi dalam bentuk ronsen toraks dan atau pemerikaan CT scan.
"Pengobatannya adalah dengan obat antihelmintik, seperti albendazole, mebendazole, dan atau ivermectin, tentu selain pengobatan simtomatik dan suportif lainnya," kata dia.
Dalam kesempatan berbeda, pendiri dan Ketua Health Collaborative Center Dr dr Ray Wagiu, MKK, FRSPH menggambarkan kejadian balita di Sukabumi meninggal pasca kecacingan adalah pengingat belum terpenuhinya kesehatan sebagai hak ideologis setiap warga negara tanpa terbatas syarat administratif.
Seperti diberitakan sebelumnya, Raya sempat kesulitan berobat dan tidak langsung mendapatkan penanganan yang tercover BPJS Kesehatan lantaran nihil kartu tanda penduduk (KTP) sebagai syarat kepesertaan.
Dr Ray menilai perlu adanya penguatan aspek keadilan, proteksi pembiayaan, dan semakin banyaknya solidaritas komunitas.
"Artinya, negara dan masyarakat perlu terus bergerak agar sistem jaminan dan pelayanan kesehatan makin inklusif, terutama untuk kelompok yang rentan," beber dia.
Dalam kasus Raya, bantuan lebih banyak terjadi saat solidaritas dari komunitas berperan. Namun, lebih banyak di daerah, dan belum menyasar secara nasional.
"Dimensi solidaritas dan komunitas juga diingatkan lewat kejadian ini, Artinya solidaritas nasional belum inklusif. Kesehatan sebagai gotong royong masih banyak yang parsial belum merangkul yang paling pinggiran," tuturnya.
Mencegah kejadian yang sama, Dr Ray uang juga tergabung dalam Indonesia Health Development Center (IHDC) bersama eks Menteri Kesehatan RI Prof Nila Moeloek menilai perlu adanya penguatan layanan primer seperti di posyandu. Hal ini tidak lain demi bisa mendeteksi kasus-kasus tersebut lebih dini, agar lagi-lagi tidak terlambat ditangani.
"Atau juga puskesmas agar bisa memastikan kasus-kasus klinis sederhana segera ditangani," pungkasnya.