Kecanduan Judi Online Nyaris Sama dengan Kecanduan Narkoba

Kecanduan Judi Online Nyaris Sama dengan Kecanduan Narkoba
Kecanduan Judi Online Nyaris Sama dengan Kecanduan Narkoba, Foto: RRI

WARTASULUH.COM- Perang melawan judi online di Indonesia sudah dilakukan sejak beberapa tahun terakhir, namun hingga kini hasilnya belum menampakkan titik terang. Pada awal Mei, konferensi pers yang digelar Kementerian Ekonomi dan Digital (Komdigi) menyatakan potensi kerugian akibat judi daring diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun di akhir 2025 jika tidak ditangani serius.

Kendati Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa nilai transaksi judi online turun menjadi Rp47 triliun sepanjang Januari-Maret 2025, namun data Google Trends menunjukkan pencarian masyarakat terhadap kata kunci seperti "slot", "gacor", dan "slot gacor" meningkat tajam dalam kurun waktu yang sama.

Hal ini menunjukkan bahwa hasil kampanye pemerintah untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya judi online masih jauh panggang dari api. Netizen berupaya mencari celah untuk menyusup ke situs-situs judi yang masih lolos dari pemblokiran.

Sejauh ini, berdasarkan survei Drone Emprit 2023, Indonesia termasuk negara dengan tingkat keterlibatan judi online yang tinggi di dunia, meskipun aktivitas ini ilegal, dengan jumlah 201,122 pemain.

Yang memprihatinkan dari kasus judi di Indonesia adalah profil para pelakunya. Umumnya, penjudi berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Masih menurut data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), sebanyak 2,18 juta orang memasang taruhan kecil kurang dari Rp100.000.

Berdasarkan profilnya, para penjudi mencakup mahasiswa, pelajar, buruh, pegawai swasta, dan pekerja kontrak. Ironisnya, 13 persen dari penjudi di Indonesia adalah anak-anak di bawah usia 10 tahun dan pelajar berusia 10 hingga 20 tahun.

Angka ini sangat mengkhawatirkan. Sebab, sebagian besar mereka yang berjudi mempertaruhkan "uang panas", dana untuk kebutuhan sehari-hari mereka. Akibatnya, dampak yang ditimbulkan tidak hanya bersifat pribadi, tetapi juga meluas ke lingkungan keluarga.

Banyak dari mereka yang terjebak judi online mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan pokok, menunggak biaya sekolah anak, hingga terjerat utang. Dalam jangka panjang, hal ini berpotensi menciptakan lingkaran kemiskinan baru yang sukar diputus, terutama ketika perilaku berjudi menjadi pelarian dari tekanan ekonomi dan ketidakpastian hidup.

Kecanduan Judi Mirip Kecanduan Narkoba

Melihat dampak di lapangan, pemberantasan aktivitas perjudian semestinya diperlakukan sama seriusnya dengan penanganan penyalahgunaan narkoba. Perspektif ini didukung oleh DiagnosticandStatistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) dari AmericanPsychiatricAssociation (APA) yang mengategorikan kecanduan judi sebagai bagian dari "perilaku adiktif terkait zat."

Sejak 2013, APA memasukkan kecanduan judi dalam kelas yang sama dengan alkohol dan narkoba. Dalam kategori tersebut, judi adalah satu-satunya adiksi yang tak melibatkan benda eksternal dimasukkan ke dalam tubuh pemakainya.

Maka itu, para ahli mendeskripsikan judi sebagai kecanduan murni atau pure addiction. Adiksi ini tak melibatkan zat apa pun, namun dengan efek mirip dengan kecanduan alkohol dan narkoba.

Sebab, aktivitas judi, sebagaimana juga alkohol dan narkoba, menyasar sistem tertentu otak manusia yang menjadikan pemainnya rentan mengalami ketergantungan jangka panjang.

Secara neurobiologis, aktivitas berjudi memicu pelepasan dopamin di otak, terutama di bagian nucleus accumbens, bagian dari sistem penghargaan (reward system) yang juga aktif saat seseorang mengonsumsi narkotika, dikutip dari jurnal. Frontiers in Behavioral Neuroscience

Dopamin menciptakan sensasi senang dan euforia. Kedua sensasi yang mendorong seseorang untuk terus mengulangi perilaku tersebut meskipun merugikan. Selain itu, kecanduan judi juga melemahkan korteks prefrontal (prefrontal cortex), yaitu bagian otak yang mengatur pengambilan keputusan dan pengendalian impuls. Lokasinya tepat berada di belakang dahi.

Akibatnya, individu dengan gangguan judi sebenarnya sadar akan kerugian yang ditimbulkan, namun tetap sulit untuk berhenti. Hal ini sama dengan orang kecanduan narkoba, meskipun sadar akan dampak negatifnya, para pecandu gagal menahan diri dan tetap melanjutkan aktivitas merugikan tersebut karena sistem kontrol di bagian otak sudah terganggu.

Bagian otak yang lain: amygdala dan hippocampus, yang berperan dalam pengolahan emosi dan memori, turut berkontribusi menyimpan pengalaman-pengalaman berjudi, seperti sensasi menang atau hampir menang (near-miss effect), sebagai sesuatu yang "berharga" dan layak dikejar. Pola ini membentuk lingkaran adiktif yang sangat mirip dengan kecanduan narkoba, sebagaimana dikutip dari Indian Journal of Psychological Medicine.

Ironisnya, meski kerusakan yang ditimbulkan oleh kecanduan judi setara dengan narkoba, baik secara neurologis maupun sosial, upaya pencegahan dan penanganan dari pemerintah belum seimbang.

Jika kampanye bahaya narkoba sudah masif dilakukan melalui spanduk, media daring, dan edukasi publik, hal serupa belum tampak untuk bahaya judi. Padahal, dalam konteks neuropsikologis, keduanya memiliki bahaya yang nyaris sama.

Terlebih, penegakan hukum terhadap pihak yang mempromosikan judi masih bersifat selektif dan tebang pilih (cherry picking). Banyak pemengaruh (influencer) dan selebritas terkenal seperti Denny Cagur dan Boy William tampak kebal hukum. Namun, individu biasa seperti Gunawan Sadbir ditangkap karena mempromosikan judi daring melalui siaran langsung TikTok-nya.

Maka itu, penanganan kecanduan judi seharusnya tidak lagi dipandang remeh. Ia perlu ditangani sebagai masalah kesehatan masyarakat, dengan pendekatan edukatif, preventif, dan rehabilitatif yang setara dengan penanganan penyalahgunaan narkoba.

Canggihnya Promosi dan Iklan Judi Online

Program kerja paling dibanggakan pemerintah untuk melawan judi online adalah melalui pemblokir situs judi. Namun, sudah menjadi rahasia umum, langkah ini terbukti kurang efektif karena sebagian besar penjudi menggunakan Virtual Private Network (VPN) untuk menghindari pembatasan tersebut.

Meskipun Komdigi mengklaim sudah memblokir jutaan situs judi online dan menghalangi akses iklannya, sampai sekarang promosi judi masih mudah ditemukan secara daring, terutama di platform media sosial, seperti X, TikTok, Facebook, atau Instagram.

Memang ada kecenderungan tidak ditemukannya tagar (hashtag) yang mengarahkan pada aktivitas judi, namun promosi judi online terselip lewat banner kecil yang tampil di dalam gambar dan video-video pendek di media sosial. Promosi semacam ini sulit dilacak jika hanya mengandalkan pencarian berbasis teks.

Berdasarkan survey Populix 2024, 84 persen pengguna internet di Indonesia terpapar iklan judi online. Hal ini menunjukkan bahwa upaya pemblokiran Komdigi "kalah" dengan gigihnya promosi judi online lewat media-media sosial.

Problem canggihnya iklan judi online menunjukkan bahwa pemberantasannya perlu dilakukan lewat pembelajaran mesin yang lebih canggih lagi, misalnya dengan algoritma pemrosesan gambar agar bisa melacak iklan judi online yang tersembunyi di dalam pos dan video-video pendek di media sosial.

Situasi ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis pemblokiran tidak lagi memadai. Judi online telah bertransformasi menjadi masalah digital kompleks, bergerak lincah di ruang-ruang algoritmik yang tidak kasat mata oleh kebijakan konvensional.

Oleh karena itu, penting dilakukan penguatan kolaborasi dengan peneliti, ahli keamanan siber, dan platform digital untuk membangun sistem deteksi otomatis berbasis kecerdasan buatan (AI) yang mampu membaca pola visual, suara, dan teks tersembunyi secara simultan.

Terakhir, kecanduan judi harus dipahami bukan semata persoalan psikologis, melainkan juga problem struktural. Bagaimanapun juga, sebagian besar penjudi  dipengaruhi oleh lingkungan mereka.