Gubri Abdul Wahid Baca Puisi Hilang Rimba Hilang Bahasa

Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid membacakan puisi yang berjudul Hilang Rimba Hilang Bahasa saat memeriahkan KalaMusika Konser Kata Kata 2025, Sabtu (19/7/25) malam di Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai Purna MTQ, Pekanbaru.

Gubri Abdul Wahid Baca Puisi Hilang Rimba Hilang Bahasa
Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid membacakan puisi yang berjudul Hilang Rimba Hilang Bahasa saat memeriahkan KalaMusika Konser Kata Kata 2025, Sabtu (19/7/25) malam di Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai Purna MTQ, Pekanbaru. FOTO: Diskominfotiks Riau

WARTASULUH.COM, PEKANBARU - Gubernur Riau (Gubri) Abdul Wahid membacakan puisi yang berjudul Hilang Rimba Hilang Bahasa saat memeriahkan KalaMusika Konser Kata Kata 2025, Sabtu (19/7/25) malam di Gedung Anjung Seni Idrus Tintin, Bandar Serai Purna MTQ, Pekanbaru.

Abdul Wahid mengakui belum pernah membaca puisi, namun pada malam itu dia menampilkan puisi yang apik dan upaya untuk melestarikan hutan. 

"Puisi ini ekspresi akal dan budi," katanya. 

KalaMusika 2025 menampilkan Penyair Provinsi Riau dan Kepulauan Riau berkolaborasi. Acara ini dilaksanakan bersempena dengan peringatan Hari Ulang Tahun ke-68 Provinsi Riau dan HUT ke-80 Republik Indonesia.

Berikut bait puisi yang dibacakan Gubernur Riau Abdul Wahid:

Hilang Rimba Hilang Bahasa

Untuk bunda semesta yang diamnya lebih dalam dari laut dan sabarnya lebih tua dari langit 

Aku datang tidak membawa kata-kata baru

Sebab kata-kata telah lama pergi pada retak daun 

Pada gemetar pepohonan, pada peluh tanah yang menyusu angin 

Sebelum kami menyebutnya puisi

Aku hanya menyulam kembali jejak yang pernah basah oleh pantun 

Suara yang pernah halus dalam dzikir angin,

Bisikan Rimba nyanyian sungai 

Desah tanah yang Luruh dari mata langit ke ubun-ubun manusia

Dulu, kami mengenal dunia bukan dari layar melainkan dari embun di pucuk lalang

Dari gemercik sungai yang hafal nama-nama

Dari mentari yang menyuruk di bilik daun, seperti ibu pulang diam-diam membawa beras

Kami tahu arah bukan dari kompas 

Tapi dari arah bayang pohon condong waktu Ashar 

Kami tak hafal definisi, tapi kami paham arti bahwa satu jejak kaki di lumpur adalah silsilah 

Adalah wasiat, adalah firasat yang tertulis namun hidup di dada 

Lalu waktu mengiring kami jauh, bukan bumi yang berpaling 

Tapi kami yang berjalan terlalu cepat, hingga lupa diam kami bukan jalan 

Tapi tidak sempat membuka jalan pulang di dalam diri sendiri

Satu demi satu, suara menjadi data 

Makna menjadi izin 

Rimba menjadi gempar dan bahasa terpuyung luruh dari dahan ingat ke jurang lupa 

Bahasa lahir dari akar yang tumbuh bersama ketupat dan anyaman 

Dari pantang yang dijaga bukan karena takut, tapi karena cinta yang berlapis hormat 

Kini terombang-ambing, terasing dari lidah, terkikis dari pasar, terhapus dari suara-suara, terdiam dada yang sunyi 

Kini tinggal adalah nyanyian tanpa nada, pantun tanpa sampiran 

Sungai yang diam seperti luka lama dan burung-burung yang tak sempat berpamitan

Kami sebut ini kemajuan

Tapi bagaimana bisa langkah maju jika yang ditinggalkan adalah ruh dan jiwa

Kami sebut ini pembangunan 

Tapi yang kami bangun ternyata hanya tembok yang memantulkan gema getiran kami sendiri

Hari ini aku menulis bukan sebagai penguasa kata

Aku menulis sebagai anak dari tanah yang tak mengenal suara 

Dan aku bertanya dengan gemetar, jika Rimba lenyap di mana lagi bahasa akan bersaung

Jika bahasa hilang dengan apalagi kami mengenal ibu kami sendiri 

Sebab bahasa bukan sekedar ucapan

Ia adalah pohon yang diam menulis kata menulis doa 

Adalah sungai yang setia pada arah 

Adalah semut yang berjalan lurus karena tahu arah asalnya 

Kini kami datang bukan hendak menyalahkan, bukan pula meminta kebenaran 

Kami datang untuk menunduk menyentuh tanah sekali lagi 

Dengan jari yang pelan, dengan dada yang lapang, dengan hati yang siap menyesal 

Kami ingin menanam kembali, bukan hanya hutan, tapi pendengaran 

Kami ingin menanam kembali malu 

Kami ingin menyemai kembali bukan hanya kata, tapi makna 

Kami ingin mendengarkan kembali bunyi hujan seperti syair, angin seperti nasehat dan malam seperti dzikir pujangga di bawah pohon tua 

Dan bila nanti angin kembali melafal pantun, sungai kembali menyanyikan nama-nama dan burung-burung kembali pulang tanpa takut

Maka dunia tahu bahwa bahasa belum mati dan rimba belum sepenuhnya ditinggalkan

Aku tak berjanji akan kembalikan segalanya, tapi aku berjanji untuk tidak membiarkan kehilangan ini menjadi warisan terakhir bagi anak-anak kami

Sebab Rimba adalah ibu, bahasa adalah tubuhnya dan Melayu adalah ingatan yang hanya hidup jika kita cukup hening untuk mendengarkan kembali 

(kha)