Menu MBG Tak Boleh Diisi Nuget atau Sosis Cepat Saji
WARTASULUH.COM- Program makan bergizi gratis (MBG) dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto untuk membantu meningkatkan gizi dan kesehatan anak-anak di Indonesia.
Ahli gizi Mochammad Rizal menyebut MBG memang program positif, tetapi pelaksanaannya harus terus dievaluasi agar manfaatnya optimal sebagai investasi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.
“Dalam jangka pendek, yang bisa kita lihat adalah peningkatan status gizi dan kesehatan anak, seperti penurunan angka anemia. Anak-anak yang tumbuh sehat hari ini kelak akan melahirkan generasi bebas stunting,” ujar Rizal seperti dilansir dari Antara, Minggu (2/11/2025).
Kendati demikian, implementasi MBG di lapangan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah kebiasaan makan anak masa kini yang terbiasa mengonsumsi ultra processed food (UPF) seperti camilan, permen, serta makanan tinggi gula, garam, dan lemak.
“Menu MBG yang ideal justru berisiko tinggi tidak dihabiskan (food waste). Sebaliknya, memberikan menu berbasis UPF seperti nuget atau sosis agar makanan habis justru mengalihkan tujuan utama pemenuhan gizi dari program ini. Perlu strategi bertahap untuk mengubah perilaku makan siswa,” jelas pria yang tengah menempuh studi PhD di bidang International Nutrition, Cornell University, New York, Amerika Serikat itu.
Untuk mengukur perubahan perilaku makan sehat di sekolah, Rizal menilai penting dilakukan evaluasi rutin terhadap jumlah makanan yang dikonsumsi maupun terbuang.
Sekolah juga diharapkan mengumpulkan data makanan tidak layak konsumsi dan melaporkan insiden keamanan pangan yang terjadi di lingkungan sekolah. Panduan evaluasi tersebut tercantum dalam dokumen Panduan Implementasi Program MBG di Satuan Pendidikan yang disusun Kemendikdasmen.
Selain itu, sekolah diminta melakukan pengukuran tinggi badan, berat badan, dan indeks massa tubuh siswa setiap enam bulan sekali. Evaluasi juga mencakup perubahan perilaku siswa terkait gizi serta penerapan hidup bersih dan sehat di sekolah.
Melalui panduan tersebut, diharapkan pengumpulan data yang komprehensif, seperti data penerima manfaat, menu MBG, food waste, dan status gizi sebelum serta sesudah program berjalan, dapat menjadi basis penting untuk evaluasi kebijakan.
Peran ahli gizi pun sangat krusial untuk memastikan penerapan gizi seimbang dan keamanan pangan berjalan baik. Namun, Rizal menilai beban kerja ahli gizi di lapangan masih terlalu berat.
“Sejauh yang saya dengar, dengan rasio satu ahli gizi untuk memantau 3.000–4.000 porsi itu sangat berat. Beban ini berpotensi menimbulkan insiden keamanan pangan.
Namun regulasi baru yang membatasi produksi maksimal 2.000 porsi pada Satuan Penyediaan Pangan Bergizi (SPPG) merupakan langkah perbaikan yang baik karena dapat mengurangi beban kerja serta risiko keamanan pangan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, program MBG juga perlu diintegrasikan dengan edukasi gizi kepada anak dan keluarga. Selain menyiapkan menu, peran ahli gizi dalam memberikan edukasi kepada siswa sangat penting agar pemahaman mengenai pola makan sehat dan gizi seimbang dapat terbentuk sejak dini.
“Ini program baru sehingga masih banyak tantangan yang perlu dibenahi. Masukan konstruktif dari berbagai pihak sangat dibutuhkan,” kata Rizal.


Khaliza 



